Titik Temu Smamsatu | Ruang Inspirasi & Jembatan Pemikiran | Oleh : Dewi Musdalifah

Selepas magrib, kami duduk di teras. Hujan sore itu meninggalkan sisa kesejukan yang merayap di kulit, menyusup sampai ke napas. Lampu teras temaram, suara siang perlahan menghilang, diganti gemericik air yang masih menetes dari ujung genting.

Biasanya, obrolan kami ringan. Tentang masakan, bunga yang mulai mekar, atau tentang rencana weekend. Tapi petang ini , kata-kata anak keduaku datang begitu saja—seperti anak panah yang meluncur ke hati.

“Buk… aku baru lulus kuliah. Tapi gelisah sekali melihat derasnya berita ‘Indonesia Gelap’. Setiap hari, seperti ada saja konfirmasi bahwa itu benar. Sebagai generasi yang baru mulai melangkah… apa yang harus aku lakukan?”

Pertanyaan itu melayang di udara, lalu hinggap di antara kami. Si sulung, tengah, dan bungsu ikut menimpali. Suara-suara itu bergantian, kadang saling menguatkan, kadang menambah rasa getir. Hingga akhirnya, mereka menoleh padaku.

Aku tersenyum tipis, menarik napas perlahan, lalu berkata:
“Jika kau berada di lorong gelap, dan ingin sampai di ujungnya, siapkanlah senter yang cukup terang untuk menerangi langkahmu.”

Sulung menggeleng perlahan.
“Tapi senter hanya bisa menembus jarak pendek. Ujung jalan tetap tak terlihat. Kegelapan itu… bisa membuat kita putus asa.”

Aku mengangguk.
“Benar. Karena itu, fokuslah pada setapak di depanmu. Langkahi perlahan, pelajari setiap tekstur jalan. Gunakan semua indera, pengetahuan, pengalaman, dan kejernihan batinmu untuk menuntun langkah.”

Bungsu menimpali.
“Tapi baterai senter itu terbatas. Bagaimana kalau habis sebelum sampai?”

“Itulah sebabnya,” jawabku, “kita harus tersambung dengan sumber cahaya yang tak pernah padam—Tuhan. Jika terputus darinya, kegelapan akan benar-benar menelan segalanya.”

Si tengah, yang sedari tadi diam, berbisik lirih,
“Bagaimana caranya tetap terhubung?”

Waktu malam kian pekat. Aku melihat jam, lalu menatap mereka satu per satu.
“Setiap orang punya titik berangkatnya sendiri. Hati yang jernih akan mengenali kegelapan dalam dirinya, lalu memohon cahaya. Dan sesekali… arahkan sentermu ke sekeliling, cari teman seperjalanan—keluarga, sahabat, siapa saja yang punya arah yang sama. Jika cahaya-cahaya itu bertemu, lorong yang gelap akan menjadi jalan bersama, dan harapan pun tak akan padam.”

Tak lama kemudian, adzan isya’ terdengar. Percakapan kami berhenti, tapi cahaya yang lahir darinya tetap tinggal—menyala di hati masing-masing.