Titik Temu Smamsatu | Ruang Inspirasi & Jembatan Pemikiran | Oleh: Wiwit Dwi Wahyu (Guru Pendidikan Sejarah Smamsatu Gresik)

Masa remaja adalah periode krusial, di mana terjadi banyak perubahan psikososial, fisik, dan psikis saat individu beralih dari anak-anak menuju dewasa. Pada fase ini, tidak jarang remaja menghadapi berbagai masalah.(Hendrawati, 2017) Laporan dari berbagai media, baik online maupun offline, menunjukkan peningkatan keterlibatan remaja dalam tindakan anarkis. Misalnya, Kompas.com melaporkan bahwa di Jawa Timur saja, pada bulan Juli ini, setidaknya ada tiga insiden tawuran remaja yang berujung pada korban jiwa dan luka-luka. Ini mengindikasikan adanya pergeseran konsep kebahagiaan (eudaimonia) di kalangan remaja. Eudaimonia, konsep kebahagiaan yang diperkenalkan oleh Aristoteles, menekankan kebahagiaan yang hakiki—yaitu ketika seseorang mampu menerapkan kebajikan dan membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Namun, di era kontemporer, banyak remaja terjebak dalam kebahagiaan sesaat yang bersifat materialistis dan konsumerisme, menjauh dari kebahagiaan sejati yang ditawarkan Aristoteles.(Rasyidin & Sitorus, 2023)

Eudaimonia yang “sesat” ini sering kali menjadi pemicu kenakalan remaja, termasuk tawuran. Fenomena ini muncul karena beberapa faktor: Pertama, Proses Pencarian Jati Diri: Remaja berada dalam fase krisis identitas dan kebutuhan akan pengakuan. Bergabung dengan geng atau kelompok tertentu seringkali menjadi cara bagi mereka untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi. Kedua, Kurangnya Perhatian Orang Tua: Survei dari Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa hubungan keluarga yang kurang harmonis mendorong remaja untuk mencari kenyamanan sosial dan tempat berkumpul di luar rumah. Geng seringkali dianggap sebagai “naungan” yang memahami dan mengerti masalah mereka. Ketiga, Lingkungan Sekolah dan Ekonomi: Kondisi lingkungan sekolah yang tidak kondusif, ditambah dengan tingkat ekonomi yang rendah atau keberadaan di kawasan rawan konflik, juga sangat memengaruhi perubahan perilaku remaja dan kecenderungan mereka terhadap kenakalan.

Tren Eudaimona yang “sesat” saat ini secara signifikan mengikis etika kebajikan (virtue ethics) pada remaja, terutama melalui dominasi media sosial. Budaya instan di platform daring mendorong remaja mencari validasi dan pengakuan sesaat, menjadikan jumlah follower dan like sebagai tolok ukur kebahagiaan. Akibatnya, mereka cenderung mengutamakan kuantitas pergaulan daripada kualitas hubungan sosial. Fenomena ini menjadi masalah serius karena mengalihkan fokus remaja dari substansi dan tujuan hidup mereka sebagai calon agen perubahan, penerus generasi, dan pusat peradaban. Budaya serba instan justru membuat mereka terjerat dalam lingkaran haus validasi dan pengakuan semu.

Tekanan untuk tampil sempurna dan kecemasan sosial di media sosial memperburuk situasi. Berbagai tren yang muncul seringkali menetapkan standar tidak realistis, seperti tren “star boy” yang menampilkan gaya hidup mewah, penuh percaya diri, dan stylish. Ini memicu

konsumerisme berlebihan di kalangan remaja, membuat mereka semakin terobsesi dengan validasi eksternal. Ironisnya, banyak remaja yang tampak stylish justru menunjukkan kualitas intelektual yang minim.

Etika Kebajikan: Membentuk Remaja Menjadi Teladan Positif

Menghadapi kompleksitas masalah remaja saat ini, etika kebajikan menawarkan solusi mendasar dengan berfokus pada pembentukan karakter dan pengembangan nilai-nilai moral. Inti dari etika kebajikan adalah bagaimana menjadi individu yang utuh dan baik, bukan hanya sekadar benar. Untuk menjadikan etika kebajikan sebagai jalan bagi tren remaja yang positif, ada dua langkah utama.

Pertama, Mendefinisikan Ulang Makna Kebahagiaan: Remaja perlu menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari jumlah likes, centang biru di media sosial, kepemilikan barang mewah, atau popularitas daring. Sebaliknya, kebahagiaan hakiki terletak pada kemampuan mereka menjadi teladan, menjalani hidup yang bermanfaat bagi masyarakat, dan berkontribusi aktif dalam kegiatan sosial. Ini menggeser fokus dari validasi eksternal yang semu menuju pencapaian internal yang substantif.

Kedua, Menerapkan Konsep “4K dan 1E”: Konsep ini merangkum lima kebajikan krusial yang dapat membimbing remaja: 1). Kebijaksanaan: Kemampuan berpikir dewasa dan membuat keputusan cerdas dalam menghadapi masalah serta menanggapi pergaulan dan tren negatif. 2). Kesederhanaan: Penawar ampuh terhadap tingginya jiwa konsumerisme dan budaya pamer (flexing) yang merajalela di kalangan remaja. 3). Keberanian: Kekuatan vital untuk menanggulangi tekanan seperti bullying, diskriminasi, atau konflik antargeng, sekaligus melindungi diri dari pengaruh negatif lingkungan. 4). Ketekunan: Melawan budaya instan yang kini dominan, mengajarkan pentingnya proses dan usaha dalam meraih tujuan jangka panjang serta cita-cita. 5). Empati: Kemampuan memahami dan merasakan perspektif orang lain, kunci untuk menjauhkan remaja dari perilaku bullying, diskriminasi, dan berbagai tren negatif yang merugikan.

Ketiga, Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perubahan positif pada remaja memerlukan dukungan dari tiga pilar utama yang saling melengkapi 1) Keteladanan Orang Tua Orang tua adalah figur terdekat dan seringkali menjadi “panutan publik” bagi remaja. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk menunjukkan contoh perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun dalam interaksi sosial di luar. Remaja adalah pembelajar visual; mereka menyerap nilai dan kebiasaan dari apa yang mereka lihat. Keteladanan orang tua menjadi fondasi kuat bagi pembentukan karakter remaja. 2) Kelompok Teman Sebaya yang Positif Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya sangat dominan dalam kehidupan remaja. Maka dari itu, penting untuk mendorong pembentukan kelompok teman sebaya yang suportif, yang saling mendukung dalam pengembangan karakter dan terlibat dalam aktivitas positif. Contohnya bisa berupa remaja masjid, karang taruna, atau kelompok sosial lain yang menjunjung

tinggi standar nilai positif. Lingkaran pertemanan yang sehat dapat menjadi benteng terhadap pengaruh negatif. 3) Program Mentoring yang Kompeten Masa remaja adalah fase yang labil, di mana mereka mudah terpengaruh oleh lingkungan dan pergaulan. Melalui program mentoring yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang kompeten, remaja bisa mendapatkan bimbingan berharga. Mentor dapat membantu mereka mengembangkan kebajikan dan memberikan pengalaman hidup yang bermakna, sehingga remaja tidak mudah terjerumus ke dalam hal-hal negatif. Mentoring memberikan arah dan dukungan personal yang krusial di masa rentan ini.

Revitalisasi eudaimonia (kebahagiaan sejati dan keberkembangan penuh) pada remaja melalui pendekatan etika kebajikan adalah sebuah keharusan mendesak. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan solusi personal bagi remaja untuk bertransformasi, tetapi juga membimbing lingkungan sekitar dalam membangun komunitas yang lebih positif dan suportif.

Problem remaja saat ini bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan tugas kolektif yang melibatkan sinergi antara orang tua, sekolah, dan lembaga sosial lainnya. Kolaborasi ini krusial untuk mengatasi tren negatif yang ada. Dengan menerapkan etika kebajikan, kita akan menemukan arah yang jelas dalam membentuk remaja menjadi pribadi yang lebih baik dan tangguh. Ini akan membekali mereka untuk menghadapi tantangan hidup dan mempersiapkan diri menjadi pemimpin masa depan bagi bangsa dan negara.

Referensi

Hendrawati. (2017). Fenomena Geng Motor di Kota Bandung. Jurnal Akuntansi, 11, 1–9. Rasyidin, N., & Sitorus, P. F. K. (2023). Eudaimonia Filsafat Dalam Kontemporer Dengan

Memahami Kebahagiaan Menurut Aristoteles. Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS), 3(3), 820–826. https://doi.org/10.47233/jkomdis.v3i3.1322