Titik Temu Smamsatu | Ruang Inspirasi & Jembatan Pemikiran | Oleh : Dewi Musdalifah
Menarik membincang pendidikan karakter berbasis agama Islam.
Ada banyak jalan untuk menanamkan nilai,
banyak kerangka, banyak teknik penerapan.
Namun, tak jarang sederetan aturan
dan metode hafalan yang dipaksakan
justru melahirkan wajah-wajah yang serupa—
seolah setiap jiwa harus dipahat menjadi bentuk yang sama.
Padahal, hakikatnya iman bukan cetakan,
melainkan cahaya yang memancar berbeda
pada setiap hati yang menerimanya.
Suatu ketika, di sela perjalanan pikiran,
aku menemukan sebuah oase—
sebuah pemahaman yang jernih dan luas,
bahwa agama adalah rahmat bagi seluruh alam,
menumbuhkan tanpa menyeragamkan.
Seperti taman yang merangkul aneka bunga dan pepohonan,
membiarkan setiapnya tumbuh sesuai takdirnya,
namun tetap dalam harmoni satu kebun.
Dan di sanalah kutemukan kalimat yang indah ini:
Seperti Air Hujan dan Tumbuhan.
……..
Sesungguhnya Al-Quran diturunkan kepada orang orang beriman seirama dengan diturunkannya air hujan bagi tetumbuhan.
Setiap jenis pohon dapat memanfaatkannya menurut kebutuhan disiplin-nilai yang diamanatkan Allah kepadanya.
Dengan demikian, setiap pohon mendapat kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan memerankannya di tengah kebersamaan hidup.
Sungguh tidak mungkin bila semua jenis pohon dituntut untuk menghasilkan rasa pedas sebagaimana yang dihasilkan oleh tanaman Lombok.
Keberagaman produk nilai yang dihasilkan oleh insan beriman sangat diharapkan wujudnya untuk melayani sekian banyak kebutuhan hidup masyarakat.
Disana terdapat sekelompok orang yang baru berangkat mengenal huruf huruf Al-Quran, ada yang sudah tertarik mengkaji hukum-hukum dan budayanya, dan ada pula yang telah dapat menikmati hasil karya filosofis dan sufistiknya.
Masing masing membutuhkan lingkungan, referensi, dan narasumber yang khusus.
Dalam mengkaji falsafah terdapat pada kelompok yang condong dengan cara berpikir yang rasionalis, sosialis, humanis, bahkan alturis, yang tokoh tokohnya tersebar dalam khazanah perpustakaan Islam.
Tampaklah keluasan ajaran Islam yang tidak bermaksud mencetak pengikutnya menjadi sekawanan domba yang berselera sama.
Mereka memang tidak dikehendaki untuk menjadi domba domba yang sudah digembalakan.
Setiap individu akan dibawa oleh perbuatan takwanya sendiri kepada fungsinya ditengah lingkungan.
Sedang tawakalnya kepada Allah akan mengantarkannya kepada pemeran diri yang akurat dan unik yang susah dicari penggantinya.
Hal itu bukan berarti bahwa orang orang beriman itu sulit untuk dipimpin.
Karena individu merekam yang beragam itu sejak dini telah terikat dalam sebuah pusaran yang bersumbu pada qudratullah (kuasa Tuhan).
Maka untuk mengarahkan mereka di butuhkan cara yang paralel dengan iradatullah (kehendak Tuhan).
Rasullah Saw sendiri merasa takjub menyaksikan biji biji yang ditanamkannya bermunculan mengeluarkan batang dan mampu tegak diatas batangnya sendiri, hingga membuat orang orang kafir menjadi murka berat karenanya (al-Fatah: 29).
Ketika ajarannya meresap ke dalam pribadi Abu Bakar, lahirlah Ash-Shidiq. Saat ditanam di tubuh Umar menghasilkan Al-Faruq. Sedang pada diri Ustman membuahkan Dzun Nurain dan pada Ali muncul Al-Murtadha.
Ajaran beliau mungkin belum bisa sampai dipangkuan kita seandainya yang dilahirkannya karena tipe Al-Murtadha saja.
Itulah kelebihan ajaran agama yang mampu memberi wahana bagi tumbuh dan sempurnanya berbagai tipe individu manusia.
Sejalan dengan janji Tuhan yang menutup Wahyu-Nya yang terakhir dengan ungkapan yang meyakinkan: “Dan telah Disempurnakan nikmat-Ku atas kamu, dan Kurelakan bagimu Islam sebagai agama (al-Maidah : 3)
………
@Muhammad Zuhri dalam bukunya “Lantai Lantai Kota (2012)
Maka, dari hujan dan tumbuhan itu kita belajar:
iman tidak tumbuh dari paksaan,
melainkan dari siraman yang tepat,
tanah yang sabar,
dan matahari yang memberi hangat tanpa membakar.
Masyarakat yang damai bukanlah kebun berisi satu jenis tanaman,
tetapi hutan raya di mana setiap pohon
menegakkan batangnya sendiri,
memberi buah, bunga, dan teduh
dengan cara yang hanya ia mampu.
Dan di antara ragam itu,
tali persaudaraan justru menguat—
sebab kita tumbuh di tanah yang sama,
di bawah langit yang sama,
dan dengan air hujan yang sama
yang diturunkan oleh Tuhan.