Titik Temu Smamsatu | Ruang Inspirasi & Jembatan Pemikiran | Oleh: Dewi Musdalifah

Pagi itu, aku berniat mengikuti upacara bendera memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Namun takdir berkata lain, aku terlambat dan pintu gerbang telah ditutup. Maka arah mengheningkan cipta—yang semestinya menjadi momen sakral dalam upacara—berganti tempat di sebuah warung kopi. Di tengah hiruk-pikuk obrolan dan aroma kopi hitam, aku justru menemukan ruang refleksi lain. Saat itulah ingatanku tertuju pada sebuah surat pendek dalam Al Qur’an : An-Nās. Sebuah doa yang mungkin relevan justru ketika bangsa ini memperingati 80 tahun kemerdekaan—kemerdekaan yang terasa belum sepenuhnya kita genggam.

Surat An-Nās membuka kesadaran bahwa ancaman paling berbahaya bagi manusia bukan serangan fisik, melainkan bisikan halus yang merusak dari dalam. Al-Qur’an menyebutnya waswāsil-khannās—godaan yang membisik lalu bersembunyi. Dalam konteks Indonesia hari ini, bisikan itu hadir dalam rupa berita bohong, fitnah politik, provokasi di media sosial, hingga praktik korupsi dan budaya konsumerisme yang melemahkan daya juang. Seperti setan yang tak terlihat, pengaruh itu perlahan menggerogoti rasa percaya, merusak persaudaraan, dan melemahkan moral bangsa.Tiga sifat Allah yang disebut dalam surat ini—Rabb, Malik, dan Ilāh manusia—seharusnya menjadi pedoman bangsa. Rabb menegaskan bahwa manusia butuh pemelihara, Malik mengingatkan bahwa kekuasaan sejati hanya milik Allah, dan Ilāh menegaskan bahwa tidak boleh ada sesembahan selain Dia. Namun di negeri ini, kita sering menuhankan kekuasaan, partai, atau ideologi. Kita lupa bahwa jabatan hanyalah amanah, dan saat amanah itu dikhianati, lahirlah keserakahan, politik uang, dan manipulasi demi kepentingan segelintir orang.

Ayat terakhir surat ini memperingatkan bahwa godaan datang bukan hanya dari jin, melainkan juga dari manusia. Betapa nyata peringatan itu di Indonesia: manusia yang berwajah ramah bisa menjadi “setan sosial” dengan menyebar kebohongan, memecah belah masyarakat, atau merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. Inilah penjajahan gaya baru yang membuat kita belum sepenuhnya merdeka: terbelenggu oleh nafsu, kerakusan, dan tipu daya sesama manusia.Karena itu, doa dalam An-Nās layak dijadikan refleksi kolektif di hari kemerdekaan. Bahwa Indonesia hanya akan tetap tegak bila kita berlindung kepada Allah—Rabb, Malik, dan Ilāh manusia—sekaligus menjaga akal sehat, menegakkan moral, dan memperkuat persatuan. Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, melainkan terbebas dari segala bisikan yang menyesatkan, baik dari luar maupun dari dalam diri bangsa sendiri. Dan di warung kopi pagi itu, aku semakin yakin: An-Nās bukan hanya doa pribadi, tapi juga doa kebangsaan.

Penulis : Dewi Musdalifah