Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)

Gresik, 17 Agustus 2025 – Lapangan hijau SMA Muhammadiyah 1 Gresik (Smamsatu) dipenuhi semangat yang bergelora pada Ahad pagi itu. Matahari baru menanjak, namun wajah para siswa-siswi putih abu-abu yang dipadukan dengan almamater kuning kebanggaan Smamsatu telah memancarkan antusiasme yang jarang terlihat di hari biasa. Mereka berdiri tegak dalam barisan rapi, memisahkan putra dan putri, dengan pandangan lurus ke depan.

Upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 ini terasa berbeda. Bukan hanya karena momentum usia kemerdekaan yang memasuki delapan dekade, tetapi juga karena inspektur upacara kali ini adalah Ayahanda Sabri, Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik, sekaligus sosok pendekar Tapak Suci yang dihormati di kota ini.

Atmosfer yang Dramatis dan Penuh Makna

Derap langkah pasukan pengibar bendera (Paskibra) menggema, menggetarkan tanah lapangan sekolah. Begitu Sang Saka Merah Putih mulai naik, suasana hening menyelimuti seluruh peserta. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun berkumandang, menggugah jiwa, membuat beberapa siswa meneteskan air mata.

Momen itu bukan sekadar ritual seremonial. Ia menjadi ruang kontemplasi bersama: dari mana bangsa ini berasal, bagaimana ia bertahan, dan ke mana ia akan diarahkan oleh generasi muda.

Amanat Sang Pendekar: Ngegas dan Ngerem

Dalam amanatnya, Ayahanda Sabri menyampaikan pesan sederhana namun sarat makna: “Tugas siswa itu ngegas, tugas guru yang ngerem. Kalau kalian tidak punya semangat, tidak ada yang bisa dijaga. Tetapi kalau tanpa kendali, energi kalian bisa lepas arah. Inilah makna merdeka: energi generasi muda harus berpadu dengan kebijaksanaan orang tua dan guru. ”Analogi ini menjadi refleksi mendalam. Siswa adalah simbol energi bangsa—berani, cepat, dan penuh gairah. Namun, energi tanpa arah bisa membawa bahaya. Di sinilah hadirnya guru, bukan untuk menghambat, melainkan untuk mengarahkan. Filosofi “ngegas dan ngerem” tersebut sesungguhnya menggambarkan relasi sehat antara generasi muda dan pendidik dalam menjaga kesinambungan cita-cita kemerdekaan.

Upacara Sebagai Pendidikan Karakter

Menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional, pendidikan bukan hanya memerdekakan pikiran, tetapi juga membentuk karakter dan jiwa. Upacara bendera di sekolah adalah manifestasi dari ide tersebut. Ia menjadi media internalisasi nilai kebangsaan, disiplin, serta kesadaran kolektif.

Kajian Lickona (1991) dalam teori pendidikan karakter menegaskan, ada tiga aspek penting dalam pembentukan karakter: knowing the good, feeling the good, and doing the good. Upacara bendera memuat ketiganya: siswa mengetahui makna kemerdekaan, merasakan nilai perjuangan, dan melakukannya melalui sikap hormat serta penghormatan pada simbol negara.

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023) menunjukkan, sekolah yang konsisten melaksanakan upacara bendera secara khidmat memiliki tingkat kedisiplinan siswa lebih tinggi 25% dibandingkan sekolah yang melaksanakannya secara formalitas. Fakta ini memperkuat bahwa upacara bukan sekadar seremoni, tetapi laboratorium pembentukan nasionalisme.

Muhammadiyah, Nasionalisme, dan Generasi Muda

Dalam perspektif Muhammadiyah, nasionalisme tidak pernah bertentangan dengan Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, “Mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Bagi Muhammadiyah, membela bangsa dan negara adalah wujud nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin.”Spirit itu nyata terlihat dalam upacara di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Siswa-siswa tidak hanya belajar disiplin berdiri di lapangan, tetapi juga menyerap nilai perjuangan. Dengan cara ini, sekolah Muhammadiyah berkontribusi pada pembentukan generasi yang Islami sekaligus nasionalis.

Dramatisasi Nasionalisme: Dari Bendera ke Masa Depan

Ketika bendera merah putih mencapai puncak tiang, seluruh peserta upacara seolah dibawa ke masa lalu: pada 17 Agustus 1945, saat Proklamasi dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta. Bedanya, kali ini para siswa bukan saksi sejarah, melainkan aktor masa depan.

Sejarawan Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities menyebut bangsa sebagai “komunitas terbayang” yang disatukan oleh simbol dan narasi kolektif. Dalam konteks ini, upacara bendera adalah salah satu narasi kolektif yang terus diperbarui setiap minggu di sekolah-sekolah Indonesia.

Dengan demikian, nasionalisme tidak lahir dari teori abstrak, melainkan dari pengalaman konkret, berulang, dan emosional—seperti berdiri tegak menyanyikan Indonesia Raya di bawah kibaran bendera.

HUT ke-80: Antara Refleksi dan Harapan

Delapan puluh tahun bukanlah usia yang muda. Bangsa Indonesia sudah melalui penjajahan, revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi. Kini, tantangan bangsa lebih kompleks: globalisasi, arus informasi digital, dan degradasi moral.

Di sinilah pentingnya pesan Ayahanda Sabri: semangat “ngegas” generasi muda harus dipandu dengan “ngerem” berupa adab, etika, dan bimbingan guru. Tanpa itu, energi bisa salah arah—menjadi destruktif alih-alih produktif.

Dalam doa penutup upacara, guru dan siswa bersama-sama memohon kepada Allah SWT agar Indonesia senantiasa diberi kekuatan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan.

Nasionalisme dalam Bingkai Pendidikan

Upacara bendera HUT RI ke-80 di SMA Muhammadiyah 1 Gresik membuktikan bahwa nasionalisme bukan warisan masa lalu, melainkan tugas masa kini dan masa depan. Dengan pendekatan semi-ilmiah, setidaknya ada tiga poin penting: Upacara bendera sebagai media pendidikan karakter menumbuhkan disiplin, kebersamaan, dan nasionalisme.

Relasi siswa-guru sebagai harmoni energi dan kendali – “ngegas” siswa harus diimbangi “ngerem” guru.Sinergi nilai Islam dan nasionalisme Muhammadiyah menunjukkan bahwa menjadi muslim yang taat sekaligus nasionalis adalah satu kesatuan.

Ketika bendera merah putih berkibar di langit Gresik pagi itu, para siswa SMA Muhammadiyah 1 Gresik tidak hanya menyaksikan sebuah upacara, tetapi juga menjalani sebuah pelajaran hidup: merdeka adalah semangat yang dijaga bersama, dengan ilmu, adab, dan cinta tanah air.