Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)

Ketika Guru Kehilangan Langitnya
Alam semesta, kata sebagian orang, adalah karya Tuhan. Tetapi “karya” barangkali terlalu sederhana. Ia lebih mirip proyek raksasa yang tak mungkin selesai kita telaah dengan rapat koordinasi, anggaran, atau diagram alur.

Langit, bintang, galaksi, bumi, lautan, bahkan seekor kucing yang tidur di teras kita, semuanya disusun dengan ketelitian yang tak pernah bisa dipindahkan ke lembar presentasi. Setiap ciptaan tunduk pada hukum-hukum yang tak bisa kita lobi atau sogok.

Matahari tidak akan terbit lebih cepat hanya karena pabrik ingin lembur. Gravitasi tidak akan membiarkan gelas melayang hanya karena kita mohon keringanan. Hukum-hukum itu, fisika, kimia, biologi, ekonomi, bahkan hukum kecil yang mengatakan “mencubit pipi bayi akan membuat ibunya tersenyum”, dibuka untuk semua orang, tanpa syarat, tanpa pagar, tanpa protokol.

Dinding Kebijakan dan Pagar Birokrasi

Tapi manusia selalu punya kecenderungan membangun pagar di lahan yang tak perlu dipagari. Menambah syarat di pelajaran yang sudah gratis. Membuat universitas alam menjadi kampus yang penuh gerbang dan izin masuk dan keluar. Tuhan membebaskan, kita membatasi.

Sejak manusia mengenal peradaban, Tuhan menghadirkan mereka yang disebut “wali penyambung lidah” agar manusia tak tersesat di hutan keserakahan.

Dari sana lahir guru dan ulama: bukan sekadar pengajar aksara, tetapi penuntun hati. Mereka mengajarkan cara menahan lidah dari dusta, menahan tangan dari merampas. Mereka digambarkan seperti gembala yang menjaga kawanan agar tak menyimpang, dan menjaga dirinya dari rumput dunia yang memabukkan.

Lalu sejarah memperkenalkan profesi birokrat, yang tugasnya mengatur kerja bersama. Setelah itu hadir politikus, mula-mula sebagai perisai rakyat, lalu perlahan menjadikan rakyat sebagai tameng bagi dirinya. Kini, politikus memegang hampir semua urat kehidupan, termasuk pendidikan. Guru pun tak lagi bebas. Mereka seperti penghuni kos yang harus lapor jika hendak keluar malam.

Kebenaran angka pun tak lagi tegak. Lembaga yang seharusnya setia pada data justru menghaluskan kurva agar ramah di mata kekuasaan. Lima tambah lima memang sepuluh menurut alam, tetapi dalam politik bisa menjadi menjadi sebelah atau bahkan lebih dari sebelas,asal rapatnya tertutup dan semua sepakat.

Di sini bahaya mengintai. Guru yang jarumnya dipengaruhi medan politik akan kehilangan utara. Peta masih di tangan, tetapi arah telah bergeser.
Dan bila yang kehilangan arah adalah guru yang ulama, yang gembala umat, maka kerusakan itu seperti sumur di padang pasir yang airnya keruh: orang akan tetap minum, tapi racun ikut masuk.

Seniman, dalam keadaan seperti itu, hanya akan dilihat sebagai orang aneh, dokter jiwa yang diabaikan. Negeri yang kehilangan guru akan menertawakan dokter, lalu percaya pada dukun yang menjanjikan kesembuhan instan.
Barangkali kita perlu mengukur kembali makna “peradaban”. Bukan dari tinggi gedung atau cepatnya internet, melainkan dari tegaknya guru, jernihnya ulama, dan merdekanya gembala umat. Mereka mungkin tak kaya harta, tapi kaya jiwa. Kata-katanya bercahaya bukan karena mikrofon, tetapi karena kebenaran.

Jika guru kembali tegak, ulama kembali murni, dan gembala umat kembali merdeka, rakyat akan menemukan arah. Dan politikus, cepat atau lambat, akan kembali belajar dari hukum alam: bahwa kekuasaan hanyalah satu bab kecil dalam buku Tuhan, dan tak ada satu pun bab yang sanggup menutup seluruh cerita.