Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah

Kura-kura sering kita pandang sebelah mata. Ia berjalan lamban, tampak tak berguna, bahkan penakut. Ketika bahaya datang, hanya bisa menarik diri ke dalam tempurung—pertahanan pasif yang diberikan Tuhan padanya. Tak ada taring, tak ada cakar, tak ada kelincahan. Seolah-olah ia adalah makhluk yang kalah sejak awal dalam panggung kehidupan.

Namun siapa sangka, dari sudut matanya justru mengalir air kehidupan. Air mata kura-kura, yang mungkin kita anggap hanya tanda kelemahan, ternyata menyimpan mineral berharga—terutama natrium (garam) yang sangat dibutuhkan kupu-kupu. Pengetahuan menyebut fenomena ini lachryphagy, kebiasaan kupu-kupu menghisap air mata hewan. Mereka tidak melukai, hanya singgah dengan lembut, mengambil zat yang tak bisa mereka temukan di bunga.

Bagi kupu-kupu jantan, mineral itu adalah kekuatan. Ia membawanya saat kawin, menyalurkannya kepada betina melalui spermatofor, agar generasi baru bisa lahir dengan sayap yang kembali menari di udara. Dengan kata lain, kelanjutan hidup kupu-kupu yang indah sebagian ditopang oleh air mata seekor kura-kura.

Di sini kita belajar sesuatu yang dalam: bahkan yang tampak lemah pun bisa menghidupi yang kuat, bahkan air mata pun bisa menjadi anugerah. Kupu-kupu memang elok, tetapi tanpa kura-kura, ia kehilangan rahasia kecil yang menopang kehidupannya.

Kura-kura mengajarkan kita: setiap ciptaan Tuhan memiliki peran. Tak semua kekuatan tampak di permukaan, dan bahkan dari kelemahan bisa lahir keberkahan. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri.