Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)

Hiroshima, Nagasaki, dan Pertanyaan yang Menggetarkan

Agustus 1945 tercatat sebagai salah satu babak paling kelam dalam sejarah umat manusia. Hiroshima dan Nagasaki, dua kota industri Jepang, luluh lantak oleh bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat. Dalam sekejap, ratusan ribu jiwa melayang, kota-kota rata dengan tanah, dan dunia menyaksikan wajah mengerikan dari teknologi perang. Jepang yang selama berabad-abad dikenal dengan disiplin, semangat samurai, dan ketangguhan militernya, tampak runtuh tanpa daya.
Namun, di tengah kabar duka itu, terselip sebuah kisah yang kini menjadi legenda pendidikan. Seorang Kaisar Jepang, usai mendengar berita kehancuran negerinya, mengajukan pertanyaan yang tidak biasa: “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?” Pertanyaan itu mungkin terdengar aneh di tengah reruntuhan. Mengapa ia tidak menanyakan jumlah tentara, kapal perang, atau cadangan senjata? Mengapa justru guru yang menjadi sorotan?

Jawabannya sederhana namun mendalam: sebuah bangsa tetap memiliki masa depan selama ia masih memiliki guru. Guru bukan sekadar pengajar di kelas, melainkan pemelihara jiwa bangsa, penjaga akal sehat, dan penyalur nilai-nilai luhur.
Peran Guru disitu adalah membangun mental baru, budaya baru, cara pandang baru, cara berperilaku baru, cara merasa dan empati yang baru, cara bersikap yang baru, dan cara keyakinan diri yang baru.
Sehingga Soekarno kemudian berkata, ” Mungkin demokrasi bisa hancur, jiwa kejujuran mungkin bisa jiga ikut hancur, tapi selama Guru masih ada maka Peradaban manusia tidak akan bisa hancur,karena Guru adalah Rasul peradaban.”

Guru Sebagai Rasul Peradaban

Ungkapan “guru adalah rasul peradaban” tentu tidak dimaksudkan menyamakan guru dengan nabi utusan Tuhan, tetapi untuk menegaskan posisi guru sebagai pembawa risalah ilmu pengetahuan, akhlak, dan nilai kemanusiaan. Guru mengemban misi transendental: bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, menanamkan karakter, dan membentuk arah bangsa.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah menegaskan bahwa tugas pendidikan adalah melahirkan manusia yang beriman sekaligus berguna bagi sesamanya. Baginya, guru bukan hanya pengajar ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga penerjemah nyata ajaran agama ke dalam tindakan sosial. Inilah yang membuat murid-muridnya bukan hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memiliki kepedulian sosial, sebagaimana tercermin dalam teologi Al-Ma’un.
Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara menyebut guru sebagai “pamong” yang menuntun kodrat anak agar mereka bisa tumbuh secara merdeka. Filosofinya yang terkenal, “Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”, menunjukkan bahwa guru adalah teladan, penggerak, dan pemberi dorongan. Dalam arti itu, guru adalah sosok yang menggerakkan peradaban.

Pendidikan sebagai Jalan Peradaban

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut bahwa pendidikan sejati bukanlah “banking system” di mana murid hanya menerima hafalan, tetapi proses dialogis yang membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan. Guru yang sejati adalah yang menyalakan kesadaran kritis, sehingga murid tidak hanya tahu, tetapi juga sadar dan peduli.

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa krisis terbesar umat dan bangsa bukanlah krisis ekonomi semata, melainkan krisis nilai. Guru, menurutnya, adalah benteng terakhir dalam menjaga integritas bangsa. Jika guru kehilangan wibawa, maka hilanglah ruh pendidikan. Jika guru masih teguh, maka bangsa akan tetap punya arah.

Buya Syafi’i Ma’arif sang cendekiawan serta Guru Bangsa juga berulang kali mengingatkan bahwa pendidikan adalah the most powerful weapon bagi bangsa yang ingin merdeka sejati. Dalam pandangannya, guru bukan sekadar profesi, tetapi panggilan sejarah. Ia bahkan menilai bahwa keberlanjutan demokrasi dan keadaban publik di Indonesia sangat bergantung pada kualitas guru dalam melahirkan generasi yang jujur, berilmu, dan berintegritas.

Indonesia dan Tantangan Guru

Indonesia hari ini menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Globalisasi, arus digital, dan budaya instan telah menggerus banyak sendi kehidupan. Guru sering kali ditempatkan hanya sebagai pelengkap birokrasi pendidikan, terbebani administrasi, dan kurang dihargai secara layak. Padahal, jika guru terpinggirkan, sesungguhnya kita sedang mengabaikan “rasul-rasul peradaban” yang menjaga arah bangsa.

Penghargaan kepada guru tidak bisa berhenti pada seremoni tahunan di Hari Guru. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan konkret: kesejahteraan yang layak, pelatihan berkelanjutan, dan pemulihan marwah guru sebagai figur yang dihormati. Sebab, tanpa itu semua, guru bisa kehilangan semangat, dan murid kehilangan teladan.

Menyalakan Cahaya di Tengah Reruntuhan

Kisah Hiroshima dan Nagasaki mengajarkan pada kita bahwa sebuah bangsa bisa hancur secara fisik, tetapi selama masih ada guru, ia akan menemukan jalannya untuk bangkit. Jepang hari ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia bukan karena senjata, tetapi karena pendidikan.

Begitu pula dengan Indonesia. Bila kita ingin menjadi bangsa yang besar, kita harus menempatkan guru pada posisi terhormat: sebagai rasul-rasul kecil peradaban. Mereka adalah para penyambung cahaya, yang dengan kesabaran mengubah anak-anak biasa menjadi manusia beradab.

Tanpa guru, bangsa ini hanya akan punya gedung-gedung, jalan raya, dan gedung tinggi yang megah tetapi kosong dari nilai. Namun bersama guru, kita punya harapan untuk melahirkan manusia yang berilmu, berkarakter, dan berakhlak mulia. Dan itulah inti dari peradaban: manusia yang tercerahkan.