Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah
Ia duduk tepat di depanku. Siluetnya samar, kuning gading, seperti bayangan yang hanya aku bisa lihat. Dengan nada tenang ia berkata,“Bertanyalah. Apa pun yang kau bingungkan.
”Aku menahan ragu, lalu bertanya,“Mengapa akhir-akhir ini aku sulit membaca buku, bahkan sulit memahami orang lain?”
”Ia tersenyum, seolah sudah menduga.“Karena sekarang kau sedang belajar membaca dirimu sendiri.
”Aku menarik napas panjang. “Tapi rasanya aku jadi terasing dari dunia di luar diriku.
“Itu wajar. Kau sedang berhadapan dengan bagian dirimu yang lain.”
”Aku menatapnya lebih serius.“
Ya, aku memang bertemu denganmu. Tapi selama ini aku mengenalmu sebagai pengawas—seseorang yang sibuk menimbang kebaikan dan kesalahanku.
”Ia menggeleng pelan.”
“Itu bukan tugasku. Aku bukan hakim, apalagi alat hisabmu. Kau yang memberiku peran itu, padahal aku hanya cermin.”
”Aku diam sejenak, lalu bertanya, “Kalau begitu, bagaimana seharusnya aku memperlakukanmu?”
“Anggap aku sebagai teman untuk berdialog. Mintalah nasihat, bukan hukuman.”Aku menggigit bibir, penasaran.“
Lalu… apa yang sebenarnya kau tahu tentang diriku?”
“Semuanya,” jawabnya singkat. “Bahkan hal-hal yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri.”
”Aku merasa ditelanjangi oleh kata-kata itu.“Kalau begitu, apa nasihatmu untukku sekarang?”
“Belajarlah merespons hidup dengan cinta,” katanya. “Bukan sekadar reaksi otomatis, tapi keputusan sadar dari hatimu.”
”Aku terdiam. Kuangkat cangkir jahe tanpa gula, meneguk hangatnya perlahan. Saat kuturunkan cangkir itu, sosok di depanku sudah memudar, meninggalkan aku sendiri—dengan keringat di dahi, dan percakapan yang terus bergema di kepala.
Membaca Pengalaman dengan Kacamata Psikologi
Percakapan batin seperti di atas bukan sekadar fantasi atau imajinasi. Dalam psikologi, hal itu dikenal sebagai inner dialogue—sebuah percakapan dengan bagian lain dari diri sendiri. Hermans (2001) dalam Dialogical Self Theory menjelaskan bahwa diri manusia tidak tunggal, melainkan terdiri dari berbagai posisi-diri (I-positions) yang dapat saling berinteraksi. Sosok “kuning gading” dalam narasi ini bukanlah entitas asing, melainkan representasi dari diri yang lebih reflektif—cermin yang menunjukkan kenyataan, bukan hakim yang memberi vonis.
Kecenderungan tokoh menempatkan “dia” sebagai pengawas yang menghitung salah dan benar adalah gambaran dari self-criticism. Menurut Neff (2003), self-criticism yang berlebihan menjadikan seseorang rentan merasa terasing, bersalah, dan tidak pernah cukup. Jalan keluar dari lingkaran ini adalah self-compassion—kemampuan memperlakukan diri dengan kebaikan, pengertian, dan penerimaan. Nasihat “belajarlah merespons hidup dengan cinta” sejalan dengan prinsip Mindfulness-Based Self-Compassion (MSC). Cinta dalam konteks ini bukan romantis, melainkan sikap welas asih yang lahir dari kesadaran penuh.
Ia mengajarkan bahwa respons terhadap hidup sebaiknya tidak otomatis dan reaktif, tetapi sadar, lembut, dan penuh kasih. Simbol jahe tanpa gula menegaskan kejujuran dalam menerima hidup: hangat, kadang pedas, tanpa perlu hiasan manis.
Sedangkan sosok yang menghilang menjadi keringat di dahi menandakan bahwa refleksi ini tidak berhenti di kepala, tetapi benar-benar menubuh—pengalaman psikologis yang nyata.