Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)
“Begitu dilahirkan, ayahnya sudah berharap Hamka jadi ulama. Kerap bikin orang sekampung geger.”
Kalimat pembuka itu terasa ironis sekaligus penuh nubuat. Dari kecil, Hamka dikenal sebagai anak yang sulit diatur. Ia kerap membangkang, lebih suka berkelahi dan bermain ketimbang duduk rapi di surau. Namun justru dari kegelisahan masa kanak-kanak itu lahir seorang ulama besar yang namanya melintasi batas zamannya.
Antara Rencana Ayah dan Jalan Hidup
Haji Rasul ayah Hamka bercita-cita agar putranya, Abdul Malik (nama kecil Hamka), belajar ke Mekkah sejak usia dini untuk menimba ilmu agama. Tetapi hidup tak pernah sepenuhnya mengikuti skenario orang tua. Hamka tumbuh dalam ketidakserasian: disiplin keras sang ayah di satu sisi, jiwa bebas seorang anak kampung di sisi lain. Celah ini membuatnya mencari “jalan lain” bukan sekadar meniru ayahnya, tetapi menemukan cara belajar sendiri: membaca, merantau, menulis.
Kita melihat pola ini berulang dalam sejarah: banyak tokoh besar lahir bukan dari kepatuhan penuh, melainkan dari “pembangkangan produktif”. Dalam bahasa sosiologi pendidikan, inilah “konflik kreatif” antara struktur keluarga dengan aspirasi individu.
Dari Kenakalan ke Kemandirian Intelektual
Hamka akhirnya tumbuh sebagai ulama, sastrawan, sekaligus pejuang kebudayaan. Kenakalannya di masa kecil justru melahirkan keingintahuan liar, semangat otodidak, dan keberanian berpikir di luar pakem. Beliau menulis karya yang sangat fenomenal “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” yang mengguncang sastra Indonesia, sekaligus menulis tafsir monumental “Al-Azhar” yang mengakar di dunia Islam.
Fenomena ini sejalan dengan pandangan psikolog perkembangan: anak “nakal” tidak selalu identik dengan gagal. Sebaliknya, kenakalan bisa menjadi energi kreatif bila diarahkan. Hamka membuktikan itu semua.
Relevansi untuk Pendidikan Hari Ini
Dalam Buku “HAMKA Ulama Serba Bisa Dalam Sejarah Indonesia”, buku ini seakan menampar cara pandang kita terhadap pendidikan anak. Betapa sering kita resah melihat anak yang sulit diatur, seakan masa depannya suram. Padahal, sejarah Hamka menunjukkan: nakal bukan berarti gagal. Tugas orang tua dan pendidik adalah mengubah energi nakal menjadi energi kreatif.
Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kerap menekankan pentingnya “pendidikan yang memerdekakan”. Hamka adalah contoh nyata: ia menjadi ulama bukan karena dipaksa, melainkan karena menemukan jalan sendiri.
Membaca kisah Hamka ibarat bercermin: adakah di sekitar kita anak-anak yang tampak “bandel”, namun menyimpan bara kecerdasan? Barangkali mereka calon-calon Hamka masa depan. Sejarah memberi pesan sederhana namun kuat: jangan buru-buru menilai, sebab anak nakal pun bisa menjelma ulama.
Selalu ada kisah menarik soal Hamka, diatas salah satu kontroversinya. Sudah banyak kita ketahui lakon sejarah yang pernah beliau perankan semasa hidupnya. “Buya Hamka bukan Ulama biasa, Bukan pula pendakwah ala kadarnya. “