Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah
1 September 1965–1 September 2025. Enam puluh tahun perjalanan SMAMSATU hadir di tengah gejolak tanah air. Jalanan dipenuhi demonstrasi, suara rakyat menuntut keadilan, dan Indonesia kembali memperlihatkan dirinya sebagai bangsa yang berjuang.
Dalam suasana seperti ini, syukur tak terpisahkan dari rasa prihatin; munajat syukur berpadu dengan doa keselamatan negeri.
Ada saat langkah bukan hanya perpindahan kaki, melainkan perpindahan jiwa. Bukan sekadar meninggalkan ruang lama, tetapi membawa nilai, harapan, dan keyakinan ke tempat baru.
Seperti perahu meninggalkan dermaga, SMAMSATU berlayar dari pesisir Pekelingan menuju samudra luas, menatap cakrawala yang menanti.
Hijrah dari pinggir desa bukan sekadar pindah alamat, melainkan keputusan penuh pertimbangan—keberanian untuk melangkah lebih jauh. Dari ritme hidup yang disapu angin laut ke pusat jalan raya yang riuh dan terburu-buru.
Namun tanah baru tak selalu ramah. Audiens yang dahulu hidup dalam kultur serupa kini bercampur dengan ragam latar belakang. Atmosfer heterogen menyapa—indah sekaligus menantang. SMAMSATU berdiri sebagai penopang harapan, menerima angin dari segala arah.
Pertarungan sejati pun dimulai. Pola pikir seragam tak lagi memadai. Dibutuhkan kelenturan yang tetap kokoh: menampung potensi yang membuncah sekaligus menuntunnya pada kebaikan. Nilai lama tidak tercerabut, justru mengakar lebih dalam. Spiritualitas, religiusitas, dan karakter berpadu dengan cara baru—komunikasi yang bijak, teknologi yang cerdas.
Perjalanan SMAMSATU pun tak luput dari cela dan cedera. Ada kegagalan yang menjadi guru berharga. Ia bukan sekolah tanpa cacat, namun terus berusaha tumbuh dengan energi yang berdenyut.
Maka, sebagaimana negeri ini terus memperbaiki diri, SMAMSATU pun menjalankan fitrahnya: membaharui langkah di setiap waktu. Sebab ketika tantangan besar absen, hal-hal sepele justru bisa menjelma medan pertempuran.
Sebagaimana sekolah ini menempuh hijrah ruang dan zaman, tanah air pun ditantang bergerak: dari pertikaian menuju persatuan, dari ketidakadilan menuju keadilan, dari kegelisahan menuju ketenteraman.
Demonstrasi hari ini bukan sekadar kegaduhan, melainkan suara agar negeri ini tak terjebak di persimpangan, tetapi terus berjalan ke arah kebaikan bersama.
Kini, di usia matang, satu hal perlu ditegaskan: menjadi kebijaksanaan itu sendiri. Agar generasi yang lahir dari rahimnya tangguh tanpa tipu, berhasil tanpa melukai, dan hidup dengan kesadaran transendental yang kokoh.
Enam puluh tahun ditempa hujan pengalaman, diterangi sinar doa, dipelihara oleh tangan-tangan setia—sering tanpa nama. Dari ruang kelas sederhana di Pekelingan hingga bangunan menjulang di jantung kota, semuanya berdiri di atas satu dasar: kebaikan yang diwariskan.
Munajat enam puluh tahun ini bukan hanya untuk sekolah, melainkan juga untuk negeri yang sedang bersuara di jalanan. Semoga SMAMSATU melahirkan generasi yang tak hanya cerdas, tetapi juga mampu menjadi jembatan: penyejuk di tengah panas, pembawa solusi di tengah gaduhnya zaman.
Enam puluh tahun bukan penutup, melainkan awal bagi perjalanan berikutnya—dengan harapan SMAMSATU tetap berpijar bagi tanah air, memancarkan cahaya yang menuntun jalan ke depan.