Titik Temu Smamsatu | Oleh: Fadhilah Aliannah

Pendidikan tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia selalu berkelindan dengan tempat, suasana, dan perangkat yang membentuk pengalaman belajar. Jika kelas sering dipandang sebagai pusat kegiatan belajar mengajar, sesungguhnya ada ruang-ruang lain yang tak kalah strategis dalam menopang proses pendidikan: perpustakaan, laboratorium, studio seni, atau bahkan halaman sekolah. Di ruang-ruang inilah siswa menemukan pengalaman yang lebih luas daripada sekadar menerima pengetahuan dari guru; mereka belajar membaca dunia, menafsirkan realitas, dan bereksperimen dengan gagasan.

Ki Hadjar Dewantara menyatakankan, “Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa pendidikan sejati memerlukan ruang-ruang yang memungkinkan tumbuhnya kemandirian, keberanian, dan kreativitas. Maka, membicarakan ruang-ruang strategis dalam pendidikan berarti membicarakan denyut nadi dari sebuah ekosistem sekolah. Lebih dari sekadar lokasi fisik, ruang-ruang ini adalah metafora bagi kesempatan, harapan, dan arah masa depan yang diberikan kepada peserta didik.

Sebagai bagian dari ritme pembelajaran di sekolah, saya sangat merasakan setiap episode perjalanan saya adalah bentuk pembelajaran baru. Ketika saya ditempatkan di perpustakaan, saya belajar bahwa literasi bukan hanya urusan membaca buku, tetapi juga menuntun siswa menemukan makna, memilah informasi, dan membangun daya kritis mereka. Kini, saat saya dipindahkan di laboratorium, saya meyakini bahwa ruang ini pun memiliki peran strategis yang tak kalah penting. Di sana, siswa tidak hanya memegang pipet atau mikroskop, tetapi juga belajar kesabaran, kehati-hatian, dan etika bekerja ilmiah.

Laboratorium adalah tempat di mana pengetahuan diuji, hipotesis dibenturkan dengan realitas, dan siswa belajar bahwa ilmu tidak hanya dihafalkan, tetapi juga diuji kebenarannya melalui pengalaman langsung. Perpustakaan dan laboratorium, meski tampak berbeda, sesungguhnya memiliki kesamaan: keduanya adalah pusat pembelajaran, tempat siswa bertemu dengan pengetahuan, baik melalui teks maupun melalui pengalaman langsung. Seperti dua sisi dari mata uang yang sama, literasi memberi fondasi kognitif, sementara eksperimen memberi pengalaman konkret. Keduanya bersama-sama mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan zaman.

Namun, pertanyaan yang patut kita ajukan adalah: apa arti pentingnya sebuah ruang jika tidak dihidupi oleh pengetahuan orang yang bertanggung jawab atasnya? Bukankah perpustakaan hanyalah deretan buku jika pustakawannya tidak memahami cara menghidupkan literasi? Bukankah laboratorium akan sekadar menjadi gudang peralatan jika tidak ada yang mampu menafsirkan makna eksperimen yang dilakukan di dalamnya? Dan tidakkah ruang kelas bisa kehilangan jiwanya apabila pengajar tidak menguasai pengetahuan yang ia bawa?

Ruang-ruang pendidikan hanya akan mempertahankan perannya yang strategis apabila dikelola oleh pribadi yang berkompeten, memiliki kepekaan, serta visi ke depan—seseorang yang tidak sekadar menjaga keberlangsungan ruang tersebut, melainkan juga menghidupkannya sebagai

pusat pembelajaran yang bermakna dan transformatif. Di sinilah terlihat bahwa tanggung jawab pengelola ruang pendidikan tidak bisa dipandang remeh. Bukan semata tugas administratif, melainkan peran strategis dalam mengawal mutu pembelajaran.

Maka, kebermaknaan ruang sangat tergantung pada pengetahuan dan kepekaan personal di baliknya. Seorang pustakawan adalah kurator literasi yang menghadirkan ide-ide besar kepada siswa; seorang laboran adalah mediator pengetahuan eksperimental yang menyulut rasa ingin tahu melalui pengalaman nyata; atau seorang admin BK yang keberadaanya menghadirkan keteraturan agar proses bimbingan konseling berjalan lebih manusiawi, terukur, dan berorientasi pada penguatan karakter siswa.

Bukankah Mendikdasmen Abdul Mu’ti telah menggaungkan filosofi kebijakan Pendidikan Bermutu untuk Semua. Bahwa layanan pendidikan harus inklusif, berkualitas, dan membentuk generasi knowledgeable, capable, dan humble? Maka, setiap ruang pendidikan—baik perpustakaan, laboratorium, maupun bimbingan konseling —pada hakikatnya adalah simpul strategis yang menopang visi besar tersebut. Di sanalah ekosistem pendidikan menemukan wajah konkretnya: ruang yang tidak sekadar diisi perangkat, melainkan dijiwai oleh mereka yang kompeten, peka, dan visioner. Juga, yang tidak kalah penting adalah, sosok yang berilmu pengetahuan luas, sebab setiap pekerjaan menuntut dasar keilmuan agar dapat dijalankan secara bermakna.