Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah
Dalam seminggu ini, pada Biennale Jatim, aku bersua dengan tiga sosok: Martin Suryajaya—penulis dan filsuf dari Jakarta, Ismal dari Jatiwangi Art Factory, dan Hamdani dari kolektif Pasir Putih Lombok Utara.
Nama-nama yang sebelumnya hanya kukenal dari jauh kini hadir dalam lingkaran percakapan hangat. Rasanya seperti benang-benang terurai yang dipertemukan kembali oleh JALAN KECIL, kumpulan cerpenku yang lahir dari ruang sunyi, namun mampu membuka pintu jejaring lintas ruang dan gagasan.



Menulis bagiku adalah jalan sunyi—sebuah laku yang tak bisa diganti dengan apa pun. Pernah seorang kawan berkata, buku harus dijual penuh, tak boleh ada yang digratiskan. Tetapi aku merasa, buku ini telah menghadiahkanku sesuatu yang tak ternilai: ruang perjumpaan yang menghangatkan, yang tak bisa ditukar dengan harga berapa pun. Dari sana aku belajar, nilai tulisan tidak berhenti pada angka, melainkan pada perjumpaan yang ia lahirkan.
Aku menulis di sela jeda: menjelang tidur, menunggu antrean, atau pada tengah malam di kamar mandi. Dalam hening, pikiranku justru riuh oleh imajinasi dan intuisi yang menjelma kata, mengalir seperti rambahan air di sungai pikiran. Kata-kata itulah yang kemudian membuka pintu yang tak pernah kuduga.
Jalan sunyi itu bahkan pernah membawaku melintasi negeri. Malaysia menjadi salah satunya—aku diundang Kementrian Pendidikan Malaysia untuk berbagi di dua kampus: Institut Pendidikan Guru (IPG) Antarabangsa, Kuala Lumpur, dan Universiti Teknologi MARA (UiTM), Selangor. Dari buku kecil yang lahir di ruang sederhana, tiba-tiba aku menemukan diriku di ruang-ruang akademik lintas negara.
Kini aku mengerti alasan terdalam mengapa aku menulis: bukan sekadar mencatat atau menghibur, melainkan meninggalkan jejak di ruang yang tak dijangkau kaki—ruang antara manusia dan semesta. Setiap kalimat adalah anak panah yang kulepaskan ke waktu, mungkin kelak singgah di hati seseorang setelah aku tiada. Dengan menulis, aku mencuri sepotong keabadian.
Itulah sebabnya menulis menjadi penting: ia menyatukan sunyi dan riuh, pribadi dan dunia, ingatan dan masa depan. Selama masih ada kata yang lahir dari kesunyian, selalu ada pintu pertemuan yang terbuka—dan tugasku hanyalah terus menuliskannya.