Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)
Seminar yang Riuh, Kampus yang Sunyi, Suasana ruang rapat Kementerian Pendidikan Tinggi siang itu penuh layar presentasi. Slide demi slide menampilkan grafik, tabel, dan matriks indikator. Kata “transformasi” berulang kali muncul di layar, diiringi jargon “merdeka belajar” atau “internasionalisasi kampus.” Para pejabat duduk rapi dengan jas resmi, sementara staf sibuk mencatat poin-poin arahan.
Namun, hanya beberapa kilometer dari gedung kementerian itu, sebuah kampus negeri di pinggiran Jakarta tengah dihantam hujan deras. Atap laboratorium bocor, membuat mahasiswa harus menyingkirkan peralatan praktikum agar tidak rusak. Di papan pengumuman, jadwal kuliah lebih sering berubah karena dosen harus menghadiri rapat akreditasi di ibu kota. Transformasi, yang begitu gemuruh di seminar, terasa asing di ruang kelas.
Tumpukan Dokumen, Minim Arah
Membaca dokumen resmi DIKTI, termasuk sejak era Menteri Satriyo, rasanya seperti menggotong karung beras 50 kilo. Berat, melelahkan, penuh jargon teknokratis. Namun ketika dibuka, isinya sering tak lebih dari daftar belanja program. Ada target peningkatan publikasi internasional, ada rencana pembangunan gedung baru, ada program sertifikasi dosen. Banyak kata, tapi terasa seperti catatan belanja orang baru gajian: beli ini, bikin itu.
“Yang kita lihat adalah obsesi pada angka-angka,” ujar Dr. Ratna Wibowo, pengamat pendidikan tinggi Universitas Gadjah Mada, kepada Tempo. “Ada tabel, ada indeks, ada akreditasi. Tapi substansi kemandirian ilmu pengetahuan, itu jarang disentuh.”
Menara Gading dan Realitas
Masalahnya bukan sekadar tumpukan kertas. Lebih dalam, birokrasi pendidikan tinggi kerap mengurung diri dalam menara gading. Seminar demi seminar berlangsung, akreditasi demi akreditasi disusun, sementara pergulatan bangsa di luar kampus jarang mendapat perhatian serius.
Padahal, menurut Prof. Ahmad Rizky, sosiolog pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, ada banyak sumber daya pemikiran yang bisa digandeng. “Kita jarang melibatkan budayawan, pengusaha menengah, atau figur publik yang paham denyut masyarakat. Padahal justru mereka punya sensitivitas yang tidak dimiliki birokrat kampus,” ujarnya.
Pengusaha kelas menengah, misalnya, tahu betul bagaimana pasar global bekerja.
Budayawan masih bisa menangkap kegelisahan rakyat kecil. Figur publik dengan pengalaman luas melihat negeri ini dengan kacamata jernih, tidak terjebak pada rutinitas akademik. Mereka bisa memberi arah agar pendidikan tinggi tidak hanya melahirkan gelar, tetapi juga kemandirian bangsa.
Ilusi Transformasi
Kata “transformasi” belakangan menjadi mantra yang akrab. Hampir setiap dokumen resmi memuatnya. Namun, di ruang kelas yang sempit dan laboratorium yang minim fasilitas, kata itu terasa bagai fatamorgana.
“Transformasi itu sering berhenti di level kosmetik,” kata Sri Wahyuni, mahasiswa doktoral di sebuah universitas negeri. Ia menyebut kampusnya sibuk mengejar publikasi jurnal internasional, tetapi mengabaikan penelitian yang menyentuh persoalan lokal. “Saya meneliti pangan lokal, tapi lebih dihargai kalau menulis tentang isu global yang sedang tren. Itu kan absurd,” ujarnya.
Kemandirian yang Terabaikan
Padahal, inti transformasi seharusnya kemandirian: berpikir, membangun ilmu, dan mengelola sumber daya. Tanpa itu, bangsa ini hanya akan terus mengejar bayangan kemajuan, sementara pijakannya kian rapuh.
Menurut Prof. Siti Marlina, ahli ekonomi pendidikan ITB, kemandirian tidak akan lahir jika kampus hanya jadi perpanjangan proyek negara atau korporasi asing. “Kita butuh keberanian memutus ketergantungan, membangun riset sendiri, dan mendidik generasi muda agar punya daya saing dengan pijakan lokal,” katanya.
Antara Mantra dan Kenyataan
Transformasi pendidikan tinggi tidak boleh berhenti pada spanduk seminar atau tabel laporan. Ia harus menjelma menjadi gerakan yang menyentuh akar persoalan bangsa. Membuka jendela kampus pada realitas, membiarkan angin segar dari masyarakat sipil masuk, dan menumbuhkan kemandirian yang selama ini terabaikan.
Kalau tidak, “transformasi” akan terus menjadi ilusi: mantra yang dikumandangkan dengan khidmat, tetapi kosong di dalam. Perguruan tinggi akan terjebak sebagai mesin pencetak sertifikat, etalase pencitraan, dan panggung birokrasi. Dan bangsa ini, alih-alih menegakkan harga diri melalui ilmu, hanya akan berjalan di jalan semu: sibuk mengejar bayangan kemajuan, sementara pijakan tanahnya sendiri makin keropos.