Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah
Perjalananku mengatasi obesitas, melewati rasa cemas tentang kolesterol, tekanan darah, dan diet yang terasa seperti hukuman, ternyata adalah perjalanan pulang — pulang kepada tubuhku sendiri. Aku mulai menyadari bahwa tubuh selama ini ikut memanggul beban batin, menyimpan luka-luka yang belum selesai. Makan enak menjadi pelarian, katarsis untuk meredam sakit hati, tetapi luka itu tetap berdiam, seperti batu yang tenggelam di dasar sungai.
Saat aku berani menatap luka itu, memeluknya, dan membiarkannya sembuh, tubuh perlahan menjadi ringan. Kepekaan rasaku kembali seperti pagi yang bening. Aku mulai menikmati makanan apa adanya, tak lagi menuntut rasa yang paling enak hanya untuk merasa bahagia.
Di titik itu aku menyadari, tubuh adalah sahabat yang setia. Setiap molekul seperti bisik-bisik yang bisa diajak berbincang. Ketika ada yang sakit, aku belajar bertanya: ada apa, bagian mana yang lelah, bagaimana aku bisa membantu? Tubuh menjawab dengan caranya sendiri, dan aku mendengarkan. Ada semacam jalan yang terbuka: otak mencari tahu, hati memberi ruang, dan tubuh menemukan jalannya sendiri untuk pulih.
Tidak semua hari mudah. Ada masa tubuh berontak: berat badan turun drastis, tenaga habis, bahkan jatuh sakit berminggu-minggu. Namun di sanalah aku belajar sabar, belajar percaya bahwa tubuh sedang bekerja — sedang membersihkan diri dari sisa-sisa yang membebaninya. Aku hanyalah menemani, dengan kesadaran penuh, hingga ia tenang kembali.
Kini tubuhku seperti merayakan hidup. Buah naga bisa bertemu pindang, soto berdampingan dengan pepaya, pisang bersama bandeng bumbu Bali — dan semuanya terasa nikmat. Bahkan tomat dan selada yang dulu tak kusukai kini terasa segar di lidah. Seolah semua rasa keluar dari persembunyiannya, memperlihatkan keindahan hidup yang akhirnya bisa kunikmati dengan hati yang lebih tenang.
Dan aku pun belajar, bahwa ketika tubuh didengarkan, ia tidak hanya sembuh — ia juga mengajarkan kita cara mencintai hidup dengan lebih lembut.