Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)
Kesuksesan seorang pemimpin, kata Bacharuddin Jusuf Habibie ( Seorang Ilmuwan, Politikus, Mantan Presiden Ke-3 RI), bukanlah sekadar ukuran dari pencapaian pribadi. Lebih dari itu, ia diukur dari sejauh mana ia mampu membawa orang-orang di sekitarnya turut merasakan keberhasilan yang sama. Pesan ini, sederhana tapi mendasar, masih relevan bahkan semakin mendesak di tengah dunia yang kian terhubung namun sarat ketidakpastian.
Kita hidup di era ketika kepemimpinan sering kali disalahpahami sebagai simbol kekuasaan individual. Sosok yang berada di puncak dianggap pusat dari segala keberhasilan, sementara orang-orang di sekitarnya sekadar pengiring. Pandangan ini, sebagaimana diperingatkan Habibie, mengaburkan hakikat kepemimpinan sejati. Pemimpin besar bukanlah yang berdiri sendiri di menara gading, melainkan yang menyalakan obor bersama sehingga jalan menuju tujuan dapat ditempuh ramai-ramai.
Dari Puncak ke Akar Rumput
Sejarah kepemimpinan sering kali ditulis dengan narasi tunggal: satu tokoh besar yang mencetak kemenangan. Namun kenyataan selalu lebih kompleks. Revolusi industri, kemerdekaan bangsa, bahkan lahirnya teknologi disruptif tidak pernah lahir dari satu otak saja. Ia adalah hasil sinergi, hasil kolaborasi, hasil kemampuan seorang pemimpin menyalurkan energi kolektif menuju satu arah.
Habibie, dengan latar belakang ilmuwan dan teknokrat, memahami hal ini. Ia tahu betul bahwa membangun pesawat terbang tidak mungkin hanya dengan mimpi pribadi. Dibutuhkan ribuan tangan, kecerdasan tim, serta keberanian untuk berbagi visi. Dari situlah makna kepemimpinan kolektif menemukan wujudnya.
Dalam konteks hari ini, pesan itu menjadi pengingat keras. Dunia kerja, pendidikan, bahkan politik, membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai berdiri di panggung, tetapi juga piawai membangun ekosistem. Kepemimpinan bukan lagi soal karisma personal, melainkan kemampuan mengatur jaringan—dari akar rumput hingga pusat kebijakan—agar semua merasa memiliki kemenangan yang sama.
Kepemimpinan di Era Disrupsi
Di abad ke-21, kecepatan perubahan membuat banyak pemimpin gagap. Artificial intelligence, perubahan iklim, krisis global, dan polarisasi sosial menuntut respons yang tidak bisa diatasi seorang diri. Model kepemimpinan lama yang berpusat pada figur tunggal menjadi usang. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan kolaboratif, adaptif, dan transformatif.
Refleksi Habibie tentang kesuksesan yang menular relevan dalam konteks ini. Bayangkan pemimpin di sekolah, di perusahaan rintisan, atau di pemerintahan, yang tidak hanya mengejar target pribadi atau institusi, tetapi juga memastikan bahwa orang-orang di sekitarnya naik kelas bersama. Pemimpin masa depan adalah “enabler”—pemberi ruang—bukan sekadar “controller” yang memegang semua kendali.
Seorang rektor misalnya, bukan lagi hanya pengelola birokrasi akademik, melainkan fasilitator ekosistem inovasi mahasiswa. Seorang CEO bukan sekadar pemegang saham terbesar, tetapi penggerak kultur kerja yang membuat karyawan tumbuh. Seorang kepala daerah tidak lagi cukup menjadi penguasa politik, melainkan penghubung kepentingan masyarakat agar semua merasa terlibat dalam pembangunan.
Menyalakan Cahaya untuk Semua
Metafora “cahaya” dalam pesan Habibie menyimpan makna spiritual yang kuat. Cahaya kepemimpinan sejati bukanlah sorot lampu sorotan yang hanya menyoroti satu sosok di panggung utama. Ia lebih menyerupai lilin yang menyalakan lilin-lilin lain, hingga ruangan gelap menjadi terang bersama-sama.
Di sekolah, misalnya, guru yang sejati adalah yang membuat muridnya lebih percaya diri, bukan yang membuat dirinya tampak paling tahu. Dalam keluarga, orang tua yang sejati adalah yang menyiapkan anaknya mandiri, bukan yang membiarkan mereka selalu bergantung. Dalam organisasi, pemimpin sejati adalah yang rela berbagi panggung, bahkan memberi kesempatan generasi berikutnya melampaui dirinya.
Inilah bentuk kepemimpinan yang futuristik: tidak terjebak pada ego masa kini, tetapi berani menyiapkan warisan untuk esok. Pemimpin yang sadar bahwa kejayaan pribadi hanya sementara, sementara kejayaan kolektif dapat bertahan lintas generasi.
Konteks Indonesia dan Tanggung Jawab Kolektif
Indonesia, dengan segala kompleksitasnya, membutuhkan pemimpin semacam ini. Di tengah ketidakmerataan ekonomi, polarisasi politik, dan tantangan global, kita tidak bisa lagi menunggu “satu tokoh penyelamat”. Yang dibutuhkan adalah jaringan kepemimpinan di berbagai level—dari kelas sekolah hingga ruang parlemen—yang mampu mengajak semua orang merasa bagian dari keberhasilan bersama.
Habibie sudah memberi teladan: dari mimpi membangun industri dirgantara hingga mewariskan demokrasi yang membuka ruang partisipasi luas. Meski banyak tantangan tersisa, pesan utamanya tetap: kepemimpinan harus diwariskan, bukan dimonopoli.
Pada akhirnya, esensi kepemimpinan adalah tentang keberanian membagi cahaya. Bukan tentang seberapa tinggi seseorang berdiri di puncak, tetapi seberapa banyak orang yang bisa diajaknya mendaki bersama.
Di ruang-ruang kelas, di kantor-kantor kecil, di forum publik, kita ditantang untuk menyalakan model kepemimpinan semacam ini. Agar kesuksesan tidak berhenti menjadi catatan biografi pribadi, melainkan menjadi warisan kolektif.
Karena hanya dengan begitu, kepemimpinan akan menemukan makna paling sejati: tidak sekadar tentang diri, tetapi tentang kita semua