Titik Temu Smamsatu | Oleh: M. Islahuddin (Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)
Di tengah riuh rendah politik dan hiruk pikuk kekuasaan yang kerap dipenuhi dengan perebutan fasilitas, nama KH. Wahid Hasyim hadir sebagai pengingat moral: jabatan bukanlah jalan untuk menikmati kemewahan, melainkan amanah untuk melayani rakyat. Putra KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, itu menjabat sebagai Menteri Agama pada awal 1950-an, di masa negara baru berdiri, di mana segala hal masih rapuh. Namun justru dalam kerapuhan itulah ia menunjukkan keteguhan karakter yang kini terasa semakin langka.
Bayangkan, sebagai menteri, ia berhak memanfaatkan fasilitas haji gratis, sebuah kebiasaan yang diwarisi dari tradisi lama. Tapi Wahid Hasyim menolak. “Itu bukan hak saya, itu hak jabatan,” kata putrinya, Chadijah Lily Wahid, mengenang pesan sang ayah. Baginya, fasilitas negara tidak boleh bercampur dengan kepentingan pribadi. Seolah ia hendak berpesan, integritas pejabat diuji justru ketika kesempatan untuk memanfaatkan celah itu terbuka lebar.
Menteri yang Berlapar-lapar
Lebih jauh lagi, Wahid Hasyim tak hanya menolak kenyamanan. Ia menjalani hidup dengan kesederhanaan yang autentik. Ia kerap berpuasa sunnah, dengan alasan yang menyentuh: agar tak pernah melupakan nasib orang miskin yang kelaparan. “Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,” begitu pesan yang ditinggalkan.
Dalam satu anekdot, ketika tak lagi menjadi menteri, orang bertanya apakah ia kecewa. Jawabannya sederhana, sekaligus menusuk. “Tak usah kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang, tinggal pilih saja,” ujarnya sembari tertawa. Sebuah jawaban ringan, tapi sarat makna: jabatan hanyalah sementara, bukan penentu harga diri.
Pesan moral ini terasa semakin relevan hari ini, ketika banyak pejabat publik sibuk memperkaya diri, sementara rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok melambung. Kesederhanaan bukan lagi sekadar pilihan gaya hidup, melainkan sikap politik yang paling mendasar—bahwa kekuasaan seharusnya melayani, bukan dilayani.
Reformator Sistem Haji
Warisan paling konkret Wahid Hasyim adalah reformasi sistem haji. Ia menempatkan penyelenggaraan haji sepenuhnya di bawah kendali negara melalui Kementerian Agama. Langkah ini memastikan jemaah mendapat pelayanan yang lebih baik, bukan sekadar diserahkan kepada perantara-perantara yang sering kali hanya mencari keuntungan.
Tak hanya itu, ia juga mendorong agar calon jemaah haji melek huruf. Di masanya, buta huruf masih menjadi masalah besar. Dengan mewajibkan literasi dasar, Wahid Hasyim memahami bahwa ibadah suci tak bisa dipisahkan dari kualitas sumber daya manusia. Sebuah visi futuristik: haji bukan sekadar perjalanan ritual, melainkan momentum pemberdayaan umat.
Tindakan visioner lain adalah perjalanannya ke Jepang pada 1952. Saat animo berhaji begitu tinggi dan kapal yang tersedia terbatas, ia sendiri berangkat selama 18 hari ke negeri sakura untuk mencari tambahan armada. Bayangkan, seorang menteri turun langsung, bukan sekadar memberi instruksi. Hasilnya, kapal tambahan dari maskapai Osaka Sissen Kaisha berhasil diperoleh. Sebuah teladan kepemimpinan yang tak hanya duduk di balik meja, tapi juga bergerak untuk rakyat.
Relevansi Hari Ini
Tujuh dekade berselang, apa yang diwariskan Wahid Hasyim masih relevan, bahkan terasa makin mendesak. Saat publik disuguhi berita pejabat yang menyalahgunakan fasilitas negara, dari perjalanan dinas hingga proyek infrastruktur yang penuh aroma korupsi, sosok seperti Wahid Hasyim menjadi cermin moral yang hilang.
Di era digital, transparansi seharusnya lebih mudah diwujudkan. Anggaran bisa dipantau, laporan publik bisa diakses siapa saja, bahkan kebijakan bisa dikritisi secara terbuka. Namun realitas menunjukkan, justru manipulasi sering dilakukan dengan cara yang lebih canggih. Korupsi bergeser bentuk, dari amplop di bawah meja menjadi angka-angka digital di balik layar.
Pertanyaannya: masih adakah pemimpin yang berani berlapar-lapar agar tidak melupakan nasib kaum lapar? Masih adakah pejabat yang menolak fasilitas karena sadar itu bukan hak pribadi, melainkan hak jabatan?
Pelajaran untuk Masa Depan
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Kita butuh etika, teladan, dan integritas yang hidup dalam diri pejabat publik. Wahid Hasyim membuktikan bahwa reformasi birokrasi dimulai dari pribadi yang bersih. Ia sederhana bukan karena miskin, tapi karena memahami makna kekuasaan: amanah yang harus dijaga.
Ke depan, ketika Indonesia berhadapan dengan tantangan besar—krisis pangan, iklim, digitalisasi yang menggilas, hingga bonus demografi—teladan seperti ini makin diperlukan. Kepemimpinan yang tak sekadar pintar membuat kebijakan, tapi juga berani hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan.
Generasi muda, terutama siswa dan mahasiswa, seharusnya mengenal sosok seperti Wahid Hasyim bukan sekadar sebagai catatan sejarah, tapi sebagai inspirasi praksis. Bayangkan bila semangat “menolak fasilitas gratis yang bukan haknya” ditanamkan pada birokrat muda, betapa bersihnya tata kelola negeri ini.
Penutup
KH. Wahid Hasyim mengajarkan, kesederhanaan adalah keberanian. Menolak fasilitas gratis ketika semua orang berlomba menikmatinya adalah tindakan radikal yang melawan arus. Tapi justru di situlah letak kepemimpinan sejati: tegak berdiri di tengah badai kepentingan.
Indonesia masa depan membutuhkan lebih banyak Wahid Hasyim baru: pejabat yang berani berlapar-lapar agar tak lupa pada nasib kaum lapar, pemimpin yang rela bersusah payah ke negeri orang demi rakyat, dan negarawan yang menolak fasilitas demi menjaga martabat.
Sebab bangsa ini tidak akan maju hanya dengan regulasi yang rapi, melainkan dengan moralitas yang hidup. Dan dalam hal itu, jejak Wahid Hasyim adalah pelita yang tak pernah padam.