Titik Temu Smamsatu | Oleh: Dewi Musdalifah

Setiap tahun, saat Bulan Bahasa tiba di Oktober, sekolah-sekolah ramai merayakan semarak bahasa Indonesia. Beragam lomba digelar, dari membaca puisi hingga menulis cerpen.
Namun di tengah gegap gempita itu, ada sesuatu yang tak ikut bergerak: kualitas berbahasa. Ada yang terlampaui dari peringatan itu sendiri.

Lomba menulis puisi dilaksanakan tanpa pernah ada ruang untuk memahami bagaimana puisi itu dihadirkan, ditulis, dibedah, dikritik, dan dibacakan. Segalanya serba cepat, instan, seolah menulis puisi hanyalah perkara menata kata.

Apakah karena tercantum dalam kurikulum, maka otomatis siswa mampu menulis puisi?
Tentu tidak.
Puisi tak tumbuh dari kurikulum, ia tumbuh dari kesadaran akan bahasa, dari rasa yang disentuh, dari dunia yang diindra.

Puisi adalah teks paling rumit di antara bentuk sastra lainnya. Rumit bukan karena teorinya, melainkan karena kedalamannya.
Namun ironisnya, ia justru sering dianggap paling mudah.

Menulis puisi adalah menulis sesuatu dengan cara menyembunyikannya. Dalam kata lain: getaran yang mengandung bunyi.
Rindu tak pernah disebut dengan kata rindu.


Kesedihan tak datang lewat kata sedih.

Puisi berbicara melalui diksi yang menampung gaung, metafora yang bernafas, rima yang berdenyut lembut. Ia menyembunyikan makna agar terasa lebih utuh.

Di situlah kesulitan sekaligus keindahan menulis puisi: bagaimana menghadirkan rasa tanpa menamainya.

Menulis puisi bukan sekadar urusan estetika atau imajinasi, melainkan menemukan momen agar tak menjadi klise.
Ia menuntut kepekaan sensoris. Mata yang mendengar, telinga yang melihat, hati yang mencatat.

Belajar menulis puisi tak dimulai dari teori, melainkan dari menyentuh hidup itu sendiri: dari bau tanah yang basah setelah hujan, dari cahaya yang menimpa meja, dari suara sepatu di lantai kelas. Dari sanalah kata mulai mencari tubuhnya sendiri.

Guru tidak mengajarkan puisi melainkan membangunkan indra yang tertidur, mengajak siswa menulis yang tak terlihat, menamai yang tak bernama, mendengar yang tak bersuara. Bukan dengan rumus, tapi dengan keberanian menyelami diri dan lingkungannya.

Lebih indah bila sekolah mencipta ruang festival, bukan sekadar lomba.
Mungkin yang perlu diajarkan bukan cara menulis puisi, melainkan cara merasakan bahasa.
Bahasa yang hidup, yang tak dibentuk oleh ujian atau penghargaan,
tetapi oleh pengalaman melihat dan mendengar dengan hati yang utuh.

Sebab bangsa yang kehilangan kepekaan bahasanya akan perlahan kehilangan kepekaan jiwanya. Dan mungkin di sanalah peran puisi yang sesungguhnya: bukan untuk diperingati setiap Oktober, namun untuk dihidupi rasa setiap hari.