Titik Temu Smamsatu | Ruang Inspirasi & Jembatan Pemikiran | Oleh : M. Islahuddin (Aktifis Muhammadiyah dan Guru Pendidikan ISMUBA Smamsatu Gresik)
Kurang dari lima hari lagi, bangsa ini akan kembali merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Tahun 2025 menjadi penanda usia ke-80 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Di kampungku, suasana sudah terasa sejak awal bulan. Bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut jalan, gapura dihiasi janur dan umbul-umbul warna-warni, dan setiap rumah menampilkan merah putih di terasnya. Aku merasakan denyut semangat kolektif yang tak bisa dibeli dengan uang, sebuah getaran yang lahir dari kesadaran bahwa kemerdekaan adalah warisan yang harus kita rawat, bukan sekadar seremoni.
Pagi ini, aku melihat warga berbondong-bondong melakukan kerja bakti. Pak RT memimpin pembersihan selokan, para pemuda mengecat pagar, ibu-ibu menata tanaman hias, dan anak-anak memunguti sampah sambil bercanda. Gotong royong seperti ini mengingatkanku pada ucapan Bung Hatta bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Namun, aku juga sadar, gotong royong ini jangan hanya terjadi menjelang 17 Agustus, melainkan menjadi nafas kehidupan sehari-hari.
Di tengah persiapan itu, para remaja mulai latihan lomba. Ada balap karung, panjat pinang, tarik tambang, hingga lomba membaca teks proklamasi. Lomba-lomba ini memang sederhana, tetapi mengandung filosofi mendalam. Panjat pinang, misalnya, mengajarkan bahwa keberhasilan memerlukan kerja sama, bukan ego pribadi. Aku teringat Ki Hadjar Dewantara yang selalu menekankan pentingnya pendidikan karakter, di mana kompetisi bukan untuk menjatuhkan lawan, tetapi untuk membentuk kepribadian yang Tangguh.
Hal itu juga menular di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, sekolah ini tak hanya sekadar mengadakan upacara, tetapi juga menyiapkan serangkaian kegiatan yang mendidik dan menginspirasi, dengan tajuk “Menjemput Merah Putih.”
Menguatkan Karakter Bangsa Melalui Berfikir Kritis
Perayaan kemerdekaan juga memanggil kita untuk berpikir kritis. Apakah kemerdekaan kita hari ini sudah sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa? Aku teringat ucapan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah; perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat ini menusuk karena relevan dengan realitas sekarang di mana ancaman bukan lagi penjajahan fisik, melainkan korupsi, ketimpangan, disinformasi, dan degradasi moral.
Sebagai generasi muda, aku merasa tanggung jawab itu semakin berat. Data BPS 2023 menunjukkan bahwa 60,24% penduduk Indonesia adalah generasi milenial dan Gen Z. Potensi ini luar biasa, tetapi juga berisiko jika tidak dibarengi dengan literasi yang kuat. Survei Katadata Insight Center 2022 menyebutkan literasi digital kita baru 3,54 dari skala 5. UNESCO pun melaporkan bahwa minat baca siswa Indonesia berada di bawah rata-rata Asia
Tenggara. Angka-angka ini adalah alarm keras: kemerdekaan digital tanpa literasi bisa berujung pada perbudakan pikiran.
Sebuah Refleksi Oleh Sang Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ( Ki Bagus Hadikusuma)
Anak-anak sudah sibuk menghias kelas untuk lomba kebersihan antar kelas di Smamsatu. Kick-off dimulai dengan serangkaian lomba LLSMS yang diadakan Majelis Dikdasmen PNF. Mereka menyusun kata-kata motivasi di spanduk, seperti “Merdeka itu Bersih” dan “Kita Jaga Smamsatu, Kita Jaga Indonesia.” Aku terharu melihat kesadaran sederhana ini. Mereka mungkin belum paham sepenuhnya arti kedaulatan, tapi mereka sudah mempraktikkan bentuk kecilnya: menjaga lingkungan, menghargai tetangga, dan bekerja sama. Inilah pendidikan kebangsaan yang nyata, seperti yang dulu diimpikan oleh Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah mendidik akhlak melalui tindakan.
Ki Bagus Hadikusuma, Sang Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta.
Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI. Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Persiapan Matang Untuk Indonesia Berdaulat
Di sela persiapan, aku berdiskusi dengan seorang guru senior di sekolah, Ustad Anas. Ia berkata, “Merdeka itu bukan cuma soal bebas”. Merdeka itu soal punya kendali atas diri, pikiran, dan tujuan hidup.” Kalimat itu membuatku berpikir, apakah aku sudah benar-benar memanfaatkan kemerdekaan ini untuk belajar, berinovasi, dan memberi manfaat? Atau jangan-jangan aku hanya menjadi follower, sementara orang lain yang bekerja keras membangun bangsa?
Ketika pulang kerumah, di kampung pemuda-pemudi kampung mengadakan rapat persiapan karnaval. Tema tahun ini adalah “Bersatu berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Kami sepakat akan menampilkan atraksi budaya, seperti reog, pencak silat, dan tari tradisional, dipadukan dengan unsur modern seperti marching band dan parade kostum kreatif serta yang sedang viral yaitu SOUND HOREG. Menurutku, ini adalah cara yang cerdas untuk merawat identitas di tengah arus globalisasi. Sebab, seperti kata Gus Dur, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perbedaan.”
Menjelang tidur, aku menatap bendera Merah Putih yang tergantung di depan rumah. Ada rasa haru sekaligus tekad. Aku ingin menjadikan peringatan kemerdekaan tahun ini bukan sekadar pesta, tetapi momentum untuk memperkuat komitmen. Aku percaya, seperti kata Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Maka, perjuanganku sebagai anak muda adalah belajar dengan tekun, berpikir kritis, dan berani bertindak demi perubahan positif.
Enam hari lagi, suara sirene akan terdengar, bendera akan dikibarkan, dan lagu kebangsaan akan dinyanyikan serentak. Tetapi bagiku, kemerdekaan dimulai dari hari ini dari cara kita berbicara, bersikap, belajar, bekerja, dan saling menghargai. Karena kemerdekaan bukanlah cerita masa lalu, melainkan napas yang harus kita hidupkan setiap hari. Dan aku berjanji, di usia ke-80 tahun Republik ini, aku tidak hanya akan menjadi penonton, tetapi pelaku yang menjaga agar Merah Putih selalu berkibar, bukan hanya di tiang, tetapi juga di hati setiap anak bangsa.
Tadarus Kemerdekaan Smamsatu
Lima hari menjelang 17 Agustus, seluruh warga Smamsatu diajak untuk merenung. Lima hari menuju detik-detik proklamasi, mereka diingatkan kembali tentang pentingnya menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Melalui berbagai kegiatan, Smamsatu berhasil menunjukkan bahwa merayakan kemerdekaan tidak hanya tentang libur atau upacara, tetapi juga tentang berkontribusi dan terus belajar untuk menjadi generasi penerus yang lebih baik.
“Semoga semangat ini tidak hanya berhenti di tanggal 17 Agustus, tetapi terus menyala dalam diri setiap siswa. Karena kemerdekaan itu harus terus diisi dengan karya dan prestasi,” ujar Pak Rudi.
Dengan semangat “Menjemput Merah Putih,” Smamsatu mengajak seluruh siswanya untuk menjadi bagian dari perjuangan bangsa sebagai mana pendahulu- pendahulu Muhammadiyah yang mendirikan indonesia, tidak lagi dengan bambu runcing, melainkan dengan semangat belajar dan berprestasi.
Mantap ustadz Islah